Menjadi nikmat ketika ia belum datang, semua terasa sempurna, berpergian bersama, menikmati indahnya pantai di Pasir Kuta, meneguk es jeruk segar di teriknya panas mentari ketika sepulang kantor, menenggelamkan lelah dan penat dengan mengunjungi spa atau salon, menghidupkan kedekatan satu sama lain dengan menonton bioskop, bercengkrama ringan di warung makan pinggir jalan, atau sekedar jalan-jalan santai ke mall, ah semua indah tak terperi apalagi ditambah dengan manisnya seteguk cinta waktu itu.
Semua berjalan berlalu, acapkali rutinitas membuat kita tak acuh akan diri sendiri. Semua seperti biasanya, meski dengan hati yang merana, tetap kulalui juga. Sesekali menggerutu, mengatakan semua membosankan, atau kurang ini itu. Ketika melihat yang lebih, hati bersuara lirih, “Aku juga ingin seperti itu”. Lalu, tanpa sadar aku telah terjatuh dalam sebuah ruang yang penuh dengan ilusi, menghantam semua rasa syukur di hati, menjadi sebuah ironi karena aku telah merasa insecure akan diri sendiri.
Ini buruk, ketika sebuah hantaman datang, entah darimana datangnya suatu hal yang sangat retnik datang mencabik, bencana datang melanda dunia. Isak tangis dan ketakutan merebak disetiap jiwa. Membungkankam kenyamanan yang semula membuat terpana. Membungkamkan rasa tidak bersyukur di hati menjadi kebersyukuran. Membungkamkan gerutu menjadi antisipasi diri. Membungkamkan hati yang merana menjadi kepedulian hati akan sesama dan kesehatan diri. Merekatkan setiap jiwa-jiwa untuk lebih berempathy. Menyadarkan hati bahwa hidup, usia dan kesehatan tiada yang tahu. Jika tak kita jaga mulai dari diri sendiri.
Saat bencana itu datang, mereka yang antisipasi segera menerapkan hidup sehat, berusaha membantengi diri agar imun tetap kuat. Bagi mereka yang berjuang untuk mereka yang terlanda, pasti ada rasa cemas akan kesehatan diri juga, namun kepedulian yang utama telah melekat dihati mereka, menjadikan mereka garda terdepan bagi kita. Dalam bencana, bagi yang ingin menilik dari rasa kebersyukuran jiwa berusaha untuk satu dua hal untuk disyukuri, mulai dari munculnya wadah bisnis baru yang tak terkira sebelumnya, mulai dari rekatnya dengan keluarga satu sama lain, saling menguatkan untuk menghadapi bencana ini, mulai untuk mulai menekuni hobi lama, memasak untuk diri sendiri agar lebih sehat, atau mulai belajar untuk berbagi satu sama lain, dan terlebih merasa bersyukur karena masih bisa bernafas dengan baik sampai saat ini.
Jadi, hidup yang berjalan ini, semoga lebih berarti, semesta lebih membaik lagi pada kita, pun kita harus lebih baik pada semesta kita. Dimana lagi kita akan tinggal nyaman, selain disini, maka buatlah ia nyaman untuk kita tinggali lagi. Mulai dari polusi udara yang lebih bersih hingga nafas dapat menghirup dengan lebih baik tanpa menggerutu. Pantai yang lebih bersih, tanpa plastik yang tertimbun menghiasi. Hati yang lebih bersih tanpa hal yang menodai. Hal yang kita gerutukan, rutinitas yang kita sialkan, mungkin adalah hal yang kita rindukan saat ini. Jalani masa yang ada, dalam perjalanan jiwa yang membawa perubahan ke hal bahagia.
Comments
Post a Comment